Sabtu, 08 Oktober 2016

SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK MASA DEMOKRASI PARLEMENTER DI INDONESIA (1950‒1959)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Dalam perjalanan sitem politik di Indonesia banyak bukti menunjukan bahwa UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam sistem politik maupun penegakan hu­kum. Telah terjadi empat periode pemerintahan masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang).
Periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer yang liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan pada masa ini disebut masa Demokrasi Liberal. Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – undang Dasar Sementara tahun 1950 yang juga bernafaskan liberal. Pada saat itu, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai – partai politik, karena dalam sistem kepartaian menganut sistem multi partai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan sistem multi partai yang dianut, maka partai –partai inilah yang menjalankan pemerintahan melalui perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959.

1.2.  Rumusan Masalah
1.2.1.      Bagaimanakah sistem pemerintahan masa demokrasi parlementer di Indonesia?
1.2.2.      Bagaimanakah sistem kepartaian masa demokrasi parlementer di Inodenesia?
1.2.3.      Bagaimanakah pemilihan umum tahun 1955?

1.3.  Tujuan
1.3.1.      Menjelaskan sistem pemerintahan masa demokrasi parlementer di Indonesia.
1.3.2.      Menjelaskan sistem kepartaian masa demokrasi parlementer di Indonesia.
1.3.3.      Menjelaskan pemilihan umum tahun 1955.

1.4.  Manfaat
1.4.1.      Mengetahui sistem pemerintahan masa demokrasi parlementer di Indonesia.
1.4.2.      Mengetahui sistem kepartaian masa demokrasi parlementer di Indonesia.
1.4.3.      Mengetahui pemilihan umum tahun 1955.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Sistem Pemerintahan
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer yang disebut Masa Demokrasi Liberal.  Pada saat itu Indonesia dibagi manjadi 10 Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – Undang Dasar Sementara tahun 1950. Akibat pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Presiden hanya merupakan lambang kesatuan saja. Demokrasi Liberal berlangsung selama hampir 9 tahun. Selama itulah di Indonesia kerap kali terjadi penggantian kabinet hingga tujuh kali. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai yang ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik. Berikut tujuh kabinet yang terbentuk pada masa demokrasi liberal.
2.1.1        Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951 
Kabinet yang dilantik pada tanggal 6 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta. Sehingga PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba. Kabinet ini kuat formasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Kabinet ini mempunyai program kerja utama diantaranya: menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman, mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan, menyempurnakan organisasi Angkatan Perang, mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat, dan memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet ini adalah dalam memperjuangkan Irian Barat mengalami kebuntuan, dan terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Keberhasilan Kabinet Natsir adanya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
2.1.2        Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI pada 26 April 1951. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo (PNI) yang dipimpin oleh Soekiman.
Adapun program kerja pada kabinet ini adalah: menjamin keamanan dan ketentraman, mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani, mempercepat persiapan pemilihan umum, dan menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Kendala yang dihadapi oleh kabinet ini yaitu adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik karena kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya pada 23 Februari 1952 kepada presiden karena adanya pertentangan dari Masyumi dan PNI.
2.1.3        Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953        
Pada 30 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur dan berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program kerja kabinet ini terbagai menjadi program dalam negeri yaitu menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan dan program luar negeri yaitu penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut; adanya kondisi krisis ekonomi, terjadi defisit kas negara, munculnya gerakan separatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Akibat peristiwa 17 Oktober 1952 pula, kabinet Wilopo gagal melaksanakan tugas pokoknya yaitu mengadakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan anggota konstituante.
Konflik semakin diperparah dengan adanya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Peristiwa bentrokan yang melibatkan aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan. Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
2.1.4        Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955            
Kabinet Ali Sastroamidjojo,yang terbentuk pada tanggal 30 juli 1953. Kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).
Adapun program kerja kabinet ini adalah meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu, pembebasan Irian Barat secepatnya, pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB, dan penyelesaian pertikaian politik
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu; Persiapan Pemilihan Umum yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955, menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kabinet ini menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952 yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD menjadi faktor utama krisis kabinet. Ditambah lagi dengan keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan serta memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Selain itu, munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.


2.1.5        Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956
Pada tanggal 11 Agustus 1955 diumumkan terbentuknya Kabinet Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk partai oposisi. Kabinet Burhanuddin Harahap mempunyai tugas penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Selain itu, kabinet ini mempunyai program kerja utama lain: mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah, masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi, perjuangan pengembalian Irian Barat, dan menyelenggarakan politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Tugas utama kabinet ini berhasil dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat. Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955. Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Kabinet ini juga berhasil memperjuangkan diplomasi penyelesaian masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Selain itu berhasil melakukan pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer, terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin, dan menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel A. H. Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Maka, akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
2.1.6        Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957          
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU. Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB. 
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut: memperjuangkan pengembalian Irian Barat, membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD, mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai, menyehatkan perimbangan keuangan negara, dan mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat. Selain itu, program pokok kabinet ini adalah pembatalan perjanjian KMB, pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif, dan melaksanakan keputusan KAA.
Sedangkan, masalah yang dihadapi oleh kabinet ini diantaranya  berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat, muncul pergolakan atau kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan separatisme dengan pembentukan dewan militer, pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia, timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI, dan puncaknya pada mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden pada tanggal 14 Maret 1957.


2.1.7        Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959           
Pada 9 April 1957 berhasil dilantik sebuah kabinet dengan nama Kabinet Karya atau sering disebut Kabinet Djuanda. Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya yang diipimpin oleh Ir.Juanda.
Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah program yang  disebut dengan Panca Karya yaitu: membentuk Dewan Nasional, Normalisasi keadaan RI, melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB, perjuangan pengembalian Irian Jaya, dan mempergiat atau mempercepat proses pembangunan.
Pada masanya, kabinet ini berhasil mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. Selain itu, berhasil membentuk Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin. Serta pada kabinet ini berhasil mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Adapun kendala maupun masalah yang dihadapai kabinet ini adalah gagal menghadapi pergolakan di daerah seperti munculnya pemberontakan PRRI/Permesta. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Selain itu, keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Serta terjadinya peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadiri pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
Kabinet Djuanda berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin. Berakhirnya kabinet ini juga menjadi simbol berakhirnya masa demokrasi liberal yang ada di Indonesia yang mampu bertahan hingga sembilan tahun.

2.2    Sistem Kepartaian
Sistem politik pada masa demokrasi liberal banyak melahirkan partai-partai baru, seperti NU, PIR (Partai Indonesia Raya) sehingga sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah multipartai. Partai-partai tersebut berlomba agar mendapat kursi di parlemen, namun ada dua partai kuat dalam parlemen yang silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet, yaitu PNI dan Masyumi.
Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan. Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR pada masa demokrasi liberal, tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik.
Pada 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat diwujudkan. Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Maklumat Politik 3 November 1945, yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta, hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan mengakomodasi suara rakyat yang majemuk. Adapun isi Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang dimaksud ialah :
a.    Pemerintah Republik Indonesia menghendaki munculnya partai-partai politik untuk menjadi media dalam menyalurkan dan mempresentasikan seluruh aliran dan paham yang terdapat di Indonesia
b.    Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa pembentukan partai-partai politik telah tersusun secara rapi sebelum dilaksankannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dilakukan pada bulan Januari 1946
Melalui maklumat inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan berhasil membentuk partai-partai politik baru. Beberapa partai politik yang didirikan antara lain sebagai berikut. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan pimpinan Dr. Sukirman Wiryosanjoyo didirikan pada 7 November 1945, Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan pimpinan Sidik Joyosukarto didirikan pada29 Januari 1945, Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan pimpinan Amir Syarifuddin didirikan pada 20 November 1945, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan pimpinan Mr. Moh. Yusuf didirikan pada 7 November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) dengan pimpinan Nyono didirikan pada 8 November 1945, Partai Rakyat Jelata (PRJ) dengan pimpinan Sutan Dewanis didirikan pada 8 November 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dengan pimpinan Ds. Probowinoto didirikan 10 November 1945, Partai Rakyat Sosialis (PRS) dengan pimpinan Sutan Syahrir didirikan pada 20 November 1945, Persatuan Marhaen Indonesia (Permai) dengan pimpinan JB Assa didirikan pada 17 Desember 1945, dan Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI) dengan pimpinan IJ Kassimo didirikan pada 8 Desember 1945
Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan. Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.

2.3    Pemilihan Umum 1955
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan  untuk memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante (Lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara). Adapun sistem Pemilu yang digunakan dalam Pemilu 1955 adalah sistem perwakilan proporsional. Dengan sistem ini, wilayah negara RI dibagi dalam 16 daerah pemilihan (dimana Irian Barat dimasukkan sebagai daerah pemilihan ke-16, padahal Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda, sehingga Pemilu tidak dapat dilangsungkan didaerah tersebut).
Pesiapan Pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai beruasaha untuk mendapatkan suara yang terbanyak.
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a)      Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
b)      Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.[6]
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasianpemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa.  Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.




BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada BAB II, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu salah satu ciri yang nampak dalam masa Demokrasi Parlementer adalah seringnya terjadi pergantian kabinet, mulai dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan Kabinet Djuanda. Penyebab utama seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah karena adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai yang tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik. Pada masa ini, sistem kepartaian yang diterapkan memang bersifat multipartai. Adapun, pemilu pertama di Indonesia berhasil dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer, dan menampilkan empat partai besar dalam perolehan kursi pemilu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. 

3.2    Saran
Saran dari penulis kepada pembaca adalah perlunya mengamati perkembangan-perkembangan politk yang terjadi di Indonesia diantaranya perkembangan Politik Liberal di Indonesia sebagai pembelajaran di kehidupan politik di saat ini.



DAFTAR PUSTAKA

_______. “Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal” .http://www.ssbelajar.net/2013/12/perkembangan-politik-indonesia-masa-demokrasi-liberal.html. Diakses pada 20 September 2016.
_______. “Perkembangan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal”. http://www.ssbelajar.net/2013/12/perkembangan-politik-indonesia-masa-demokrasi-liberal.html. Diakses pada 20 September 2016.
_______. “Sistem Kepartaian Masa Demokrasi Liberal”. http://mastugino.blogspot.co.id/2016/06/sistem-kepartaian-masa-demokrasi-liberal.html. Diakses pada 20 September 2016.
_______. “Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 1955”. https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_1955. Diakses pada 20 September 2016.
Abdurakhman, dkk.2015.Sejarah Indonesia.Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ardiansyah, Rahmad. “Pemilihan Umum 1955”. http://www.idsejarah.net/2014/11/pemilihan-umum-1955.html. Diakses pada 20 September 2016.
Rusdi. “Indonesia Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)” .https://history1978.wordpress.com/2013/03/26/indonesia-masa-demokrasi-liberal-1950-1959/. Diakses pada 20 September 2016.






Sabtu, 17 September 2016

Dua Hati Di Ujung Senja

Dua Hati Di Ujung Senja
oleh : Fitri, Mila, Alba, Evira, dan Adinda

Langit teduh kebiruan memayungi dusun terpencil di lembah sunyi itu. Sejuk angin yang berhembus dari bukit-bukit yang mengelilingi dusun membuat penduduk sering bermimpi tentang hal-hal yang indah.
Akan tetapi, tiba-tiba saat menjelang ashar, dusun mungil itu seolah-olah berubah menjadi kancah huru-hara. Dan semua itu terjadi karena aku. Ya aku. Mereka, para penduduk beramai-ramai menyeretku ke sebuah lapangan luas. Lapangan yang biasa digunakan penduduk untuk menyelenggarakan upacara adat ataupun penghukuman seseorang yang berdosa. Seperti diriku ini. Perasaanku campur aduk antara sedih, marah, kesal, kecewa, dan merasa bodoh.
Mereka menyeretku dengan kejamnya, setelah menghajarku habis-habisan. Aku bagaikan seorang pendosa berat yang tak layak untuk diampuni. Aku ingin berteriak. Setidaknya, untuk setitik kebenaran. Namun apa dayalah aku. Mereka orang-orang yang masih kolot. Adat istidat sudah mendarah daging pada dirinya. Apakah mungkin mereka mendengarkan aku? Luka-luka di tubuh dan di wajahku ini membuatku tak berdaya. Bahkan untuk membela diriku sekalipun.
“Hukum dia! Pendosa seperti dia tak pantaslah untuk hidup!”
“Dasar kau tak punya malu, wahai pemuda!”
“Datuk, hukum saja dia! Ini sudah tak bisa diampuni lagi!”
“Pancung saja dia! Inilah akibatnya jika kau berani melanggar hukum adat kami!”
Mereka terus berteriak, mencemooh, dan menghina diriku habis-habisan. Meskipun lemah, samar-samar aku melihat Datuk Ishak berada di tempatnya. Tempat seseorang yang sangat dihormati di desa ini. Mukanya merah padam. Raut muka itu menjelaskan segalanya bahwa beliau benar membenciku. Di sampingnya ada sang istri yang menatapku dengan pandangan iba.
Sebegitu dahsyatkah perbuatan yang aku lakukan? Aku benar-benar tak mengerti. Semuanya berlalu begitu cepat. Tanganku terikat, tubuhku remuk dikeroyok masa. Bibirku bergetar, aku ingin mengucapkan sepatah kata untuk sang datuk. Tapi aku tidak bisa, penduduk itu terus berteriak. Dalam keadaan tertekan ini, aku terus berdoa kepada Tuhan berharap ada seorang malaikat yang membantuku membela kebenaran.
***
Diantara kerumunan penduduk kulihat Pak Rahmat, seseorang yang menampungku selama aku tinggal di sini, datang tergopoh-gopoh menghampiriku. “Alamak, nak Yahya? Ada apa ini?tanya Pak Rahmat dengan kebingungan.
“Sebentar, Apa yang sedang terjadi!?” teriak Pak Rahmat diantara kerumunan penduduk. 
Seketika penduduk hening sejenak. Lalu, salah seorang warga menyaut, “Zina pak zina, pemuda kota itu berzina.”
“Itukan nak Yahya, apakah dia benar melakukannya?” tanya Pak Rahmat lirih. Kulihat rasa kecewa terlukis di wajahnya.
Kemudian, beliau berbalik arah berjalan menuju Datuk Ishak.Datuk, apa yang sebenarnya terjadi, mengapa nak Yahya ada di sini?” suaranya menunjukkan betapa gundah hatinya.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga, aku mencoba membela diri. “Pak Rahmat tolong saya, saya tidak bersalah pak, percayalah.” 
“Ini , pemuda kota ini melakukan zina.” Jawab Datuk dengan amarahnya.
“Zina…? Benarkah itu nak Yahya? Benarkah nak Yahya melakukannya?” tanya Pak Rahmat cemas.
“Tidak pak, tidak, saya tidak melakukan apa-apa, percayalah pak, saya tidak melakukan sesuatu yang dilarang agama.” Ujarku  menyelamatkan diri.
“Alah, tak usah mengelak kau, mengaku saja lah.” Celetuk seorang warga desa.
“Benar pak, saya yakin nak Yahya tidak akan melakukan hal seperti ini, nak Yahya  berasal dari keluarga baik-baik dan mempunyai niat baik untuk berkunjung kesini.” Jelas Pak Rahmat membelaku.
“Baik apanya.. , saya melihat sendiri dia sedang mengintip perawan kembang desa kita, si Ulin dirumah pengasingan. Apa itu tindakan baik? tanggap seorang perempuan tua.
“Masya Allah nak Yahya, apa benar nak Yahya melakukannya?” tanya Pak Rahmat memastikan.
“B-Bukan, bukan begitu yang sebenarnya pak.” Suaraku dengan terbata bata. Aku hendak mengucapkan sepatah kata namun nafasku tersendat. Kerumunan warga menyorakiku.
“Tidak! Kau sudah tidak bisa mengelak. Adat tetaplah adat. Kau harus menikahi putriku!” tegas Datuk Ishak.
Apa?! Aku harus menikahi putrinya. Ini tidak benar. Adat macam apa ini. Aku akui aku salah. Sore itu, tidak seharusnya aku berjalan-jalan menyusuri desa ini tanpa meminta ijin Pak Rahmat. Aku nekat berjalan sendirian. Aku ingin segera memotret pemandangan untuk liputanku nanti. Agar tugas ini cepat selesai dan aku bisa kembali ke Jakarta. Lagipula, pemandangan sore hari di desa Gari Dili lebih jauh mempesona, pikirku. Malang nian nasibku, aku tidak sadar aku sudah melewati perbatasan desa. Tempat itu sangat sunyi, hanya ada sebuah rumah kuno di sana. Dalam batinku rumah ini sangat cocok untuk liputanku. Segera saja aku memotret rumah itu dan mendekatinya hingga aku melihat seorang gadis cantik didalamnya. Baik aku ataupun dia sama-sama terkejut. Tiba-tiba muncul dari belakangku seorang perempuan tua. Dia berteriak “Alamak, apa yang kau lakukan di sini anak muda? Tak seharusnya kau ada di sini. Ini tempat pengasingan bagi gadis yang sedang dalam keadaan kotor. Kau melanggar adat kami, ini sama dengan zina nak! dan saat itulah penderitaanku dimulai.
Lamunanku terbuyar setelah mendengar sebuah teriakan yang kukenal. Orang itu muncul dari kerumunan. “Yahya sudah mempunyai tunangan, mana mungkin dia harus menikahi putri Datuk?!!!” teriak Doni dengan emosi.
***
Tiga tahun silam tepatnya masa dimana aku dan sahabatku sudah bersama sejak zaman SMA dulu. Kami selalu bersama bahkan dalam menentukan jurusan saat kuliah. Hingga sekarang, kami sudah lulus sebagai sarjana telekomunikasi dari salah satu Universitas tersohor di Pulau Jawa. Mulai saat itu aku mulai bekerja disalah satu stasiun TV nasional sebagai seorang reporter. Awal masa bekerja memang berat bagi kami, kami harus beradaptasi dengan suasana kantor. Pada salah satu kesempatan kami mendapat pekerjaan yang mengharuskan kami ditempatkan ditempat yang terpisah. Doni dengan timnya ditugaskan ke Medan untuk meliput keadaan masyarakat di sana dan aku dengan timku harus pergi ke Surabaya untuk meliput festival kostum 2013. Dari perjalanan kerja itu, timbul benih – benih cinta antara aku dan Lisa, teman setimku.
Awalnya Lisa menolakku karena dia menganggap aku hanya mempermainkannya saja. Tetapi keinginanku sudah bulat untuk memiliki Lisa. Apa pun kulakukan untuk  mendapatakannya. Setelah berjuang sekian lama akhirnya Lisa menerimaku sebagai kekasihnya karena Lisa menganggapku sudah lebih serius dari sebelumnya. Hubunganku dengan Lisa pun tak semulus apa yang dibayangkan orang lain banyak masalah yang harus kami lalui. Tetapi hal tersebut tidak mengurangi rasa cinta diantara kami berdua. Satu dua tahun telah terlewati banyak cerita sendu senja kami lewati bersama. Tepat 11 Januari 2015, aku melamar Lisa agar mau menjadi pendampingku kelak. Lisa pun menyetujui hal tersebut. Kemudian aku memberanikan diri untuk menemui ayahnya agar merestui kami. Dan ternyata apa yang kami impikan terwujud. Kami mendapat restu dari kedua orang tua kami. Bagiku Lisa adalah anugerah terindah yang pernah diberikan Tuhan kepadaku. Aku  berjanji akan membahagiakan Lisa sampai ajal menjemput kami berdua. Tiga bulan kemudian aku mendapat pekerjaan untuk meliput adat istiadat yang ada di Gayo, Desa Gari Dili, Aceh. Ternyata aku dan Doni dipertemukan kembali dalam pekerjaan ini. Itulah awal mula aku bisa berada di desa ini.
***
“Apakah hanya dengan adat yang kalian agung-agungkan, kesetian itu harus dipatahkan? Dapatkah kalian bayangkan jika berada dalam keadaan nya?” jelas Doni.
 “Hei anak kota apa yang kau tahu tentang adat kami? Anak bau kencur sudah berani melawan tetua. Jika kalian telah menginjakkan kaki di sini, kalian harus mematuhi aturan yang ada di sini. Tidak peduli itu butuh pengorbanan atau pun mengorbankan kesetiaan!” tantang Datuk Ishak.
Kalian melakukannnya secara sepihak, seharusnya kalian merundingkan secara baik-baik dengan pihak yang bersangkutan.” Lanjut Doni
“Mau tidak mau ini harus dijalani, ini sudah menjadi hukum adat bagi siapa saja yang sudah melanggarnya dia lah yang harus membayarnya!” terang Datuk Ishak.
***
Sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, sudah sewajarnya aku melakukan hal ini. Ya, akhirnya aku menyetujui perkataan Datuk untuk menikahi Ulin. Waktu itu aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Istri datuk menangis dengan hebatnya. Bahkan, Datuk yang tadinya marah besar tiba-tiba memohon kepadaku untuk menikahi putrinya. Warga di sana terkejut melihat datuk. Adat ini benar-benar tidak ada gantinya. Datuk terus memohon kepadaku, karena jika aku tidak menikahi putrinya maka selamanya putrinya tidak bisa dinikahi orang lain. Hatiku mulai bergejolak. Tanpa sadar aku menyetujui pernikahan sepihak ini dengan syarat Ulin boleh kubawa ke Jakarta. Aku tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Aku punya keluarga dan karir di Jakarta. Permohonanku dikabulkan. Ulin ku boyong ke Jakarta. Para penduduk melepas kepergianku bersama Ulin dan Doni dengan sukacita.
***
Akhirnya kami bertiga sampai di Jakarta tepat pukul 9 pagi. Doni mengantarkan aku dan Ulin ke apartemenku di Menteng Atas, Jakarta Selatan. Sesampai di apartemen kami merasa canggung untuk berbicara. Ulin adalah seorang gadis pingitan yang pendiam. Aku bingung untuk memulai pembicaraan. Dengan mengumpulkan keberanianku aku mencoba memulai pembicaraan dengannya.Di sanalah tempatmu tidur. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan aku selalu ada untukmu. Jangan sungkan untuk meminta bantuanku.” Malam ini, angin malam menemani kecanggungan kami. Aku tidak bisa tidur, selain memikirkan masa depanku dengan Ulin, aku juga memikirkan hubunganku dengan Lisa. Aku bingung untuk berkata sejujurnya kepada Lisa. Aku takut menyakiti hatinya.
Dua hari berikutnya, aku mengumpulkan niatku untuk bertemu dengan Lisa. Aku mengajaknya bertemu di Café Cassandra. Tempatku dulu melamarnya. Aku berusaha untuk siap. Ulin juga ku ajak ke sana. Aku menyuruhnya duduk di kursi pojok ruangan. Takutnya Lisa langsung mengamuk ketika melihatku dengan seorang gadis. Lisa pasti senang karena memang sudah cukup lama kami tidak bertemu.
Aku menunggu di tempat yang sudah ku pesan dan 5 menit kemudian Lisa datang. Dia tersenyum senang dan memelukku tiba-tiba. Entah kenapa aku merasa canggung. pikiranku melayang ke Ulin.
“Bagaimana kabarmu Lis?” tanyaku sekedar berbasa-basi.
“Aku baik. Bagaimana denganmu? Pasti menyenangkan di Aceh.Jawab Lisa. Aku hanya tersenyum palsu. Tidak, keadaanku bahkan buruk Lis. Akibat perbuatanku hubungan kita hancur sudah, batinku.
“Aku baik. Di sana banyak hal yang aku pelajari.” Bahkan adat istiadatnya aku lakukan. Dia tersenyum senang. Dia ingin tahu pengalamanku di sana. Ku ceritakan saja hal-hal yang menyenangkan. Pembicaraan kami berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya aku mengungkapkan apa yang selama ini membebaniku.
“Lisa… aku ingin berkata jujur kepadamu,ujarku. Dia hanya mengangguk. “Sebenarnya,.. waktu aku di Aceh, aku melakukan suatu pelanggaran adat di sana. Dan karena pelanggaran itu, aku harus menikahi seorang gadis.” Sedikit tidak rela aku mengatakannya. Sedikit?
“Hahahaha, jangan bercanda Yahya. Ini bukan April mop.” Dia tertawa. Menganggap semua ini bohong belaka.  
“Aku bicara serius Lis,” balasku. “Mungkin ini memang tidak masuk akal untukmu tapi inilah kenyataannya. Jujur aku juga berat untuk melepasmu. Aku tak punya pilihan lain Lis.” Lanjutku.
 Lisa hanya terpaku mendengar  pernyataanku. Lalu ia mencoba menenangkan dirinya dan berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk belaka yang akan berakhir diesok hari. Lalu aku berdiri dari bangku caffe dan melangkah kearah gadis di sudut meja lalu menariknya. Ku genggam tangannya menuju Lisa. Ya gadis itu adalah Ulin. Lisa menatap kami dengan tatapan kosong seolah tak percaya akan hal ini. Sejenak tak ada pembicaraan diantara kami.
Akhirnya, aku memulai pembicaraan kembali. “Kenalkan Lisa, gadis ini adalah Ulin. Sekarang dia adalah istriku. Dan Ulin, ini adalah Lisa, ia adalah..  mantan tunanganku.” Jawabku dengan canggung.
“Sudahlah hentikan lelucon ini!” balas Lisa menahan amarah.
“Aku sedang tidak melucu Lis. Aku berkata sebenarnya. Apakah aku tampak berbohong di matamu?” aku menatapnya dengan seksama. Sudah tidak ada keraguan lagi di hatiku. Aku tetap menggenggam tangan Ulin. Disisi lain Ulin hanya menatap pertengkaran ini dengan tidak enak hati. Bagaimanapun pesoalan ini muncul karenanya.
 “Jangan merasa bersalah, ini semua akibat ulahku bukan karenamu.” Bisikku kepada Ulin.
“Inikah balasanmu terhadap semua yang ku lakukan? K-kau bilang kau tidak akan mencampakkanku. Tapi apa?! Bahkan kau sudah menikah dengan gadis lain?!” Lisa marah dan menangis seketika. Aku tidak tega melihatnya. Aku ingin menenangkannya, tapi di sampingku ada Ulin yang menunduk sambil menangis dalam diam.
“Sebenarnya aku juga tidak ingin mengakhiri hubungan ini. Tapi aku sudah terikat dalam pernikahan ini. Bukan maksudku mencampakkan bahkan mengkhianatimu. Tolong mengertilah.Jelasku sambil memohon kepadanya.
“Sudah hentikan!” dia menangis tersedu-sedu. “Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Mulai sekarang jangan temui aku lagi. Dan biarkan,” dia menjeda sebentar pernyataannya. Dia terlihat serius. Aku mendengarkan dengan seksama. “–dan biarkan, anakmu ini ku asuh tanpa kehadiranmu.”
Deg.
 Aku membelalak tak percaya mendengarkan perkataan Lisa. Lisa melenggang pergi meninggalkan aku dan Ulin.
“J-jadi selama ini Lisa..”

------Selesai------