Dua
Hati Di Ujung Senja
oleh : Fitri, Mila, Alba, Evira, dan Adinda
Langit teduh kebiruan memayungi
dusun terpencil di lembah sunyi itu. Sejuk angin yang berhembus dari
bukit-bukit yang mengelilingi dusun membuat penduduk sering bermimpi tentang
hal-hal yang indah.
Akan tetapi, tiba-tiba saat menjelang
ashar, dusun mungil itu seolah-olah berubah menjadi kancah huru-hara. Dan semua
itu terjadi karena aku. Ya aku. Mereka, para penduduk beramai-ramai menyeretku
ke sebuah lapangan luas. Lapangan yang biasa digunakan penduduk untuk
menyelenggarakan upacara adat ataupun penghukuman seseorang yang berdosa.
Seperti diriku ini. Perasaanku campur aduk antara sedih, marah, kesal, kecewa,
dan merasa bodoh.
Mereka menyeretku dengan kejamnya,
setelah menghajarku
habis-habisan. Aku bagaikan seorang pendosa berat yang tak layak untuk
diampuni. Aku ingin berteriak. Setidaknya, untuk setitik kebenaran. Namun apa
dayalah aku. Mereka orang-orang yang masih kolot. Adat istidat sudah mendarah
daging pada dirinya. Apakah mungkin mereka mendengarkan aku? Luka-luka di tubuh
dan di wajahku ini membuatku tak berdaya. Bahkan untuk membela diriku
sekalipun.
“Hukum dia! Pendosa seperti dia tak
pantaslah untuk hidup!”
“Dasar kau tak punya malu, wahai
pemuda!”
“Datuk, hukum saja dia! Ini sudah
tak bisa diampuni lagi!”
“Pancung saja dia! Inilah akibatnya
jika kau berani melanggar hukum adat kami!”
Mereka terus berteriak, mencemooh,
dan menghina diriku habis-habisan. Meskipun lemah, samar-samar aku melihat Datuk Ishak berada di tempatnya. Tempat
seseorang yang sangat dihormati di desa ini. Mukanya merah padam. Raut muka itu
menjelaskan segalanya bahwa beliau benar membenciku. Di sampingnya ada sang
istri yang menatapku dengan
pandangan iba.
Sebegitu dahsyatkah perbuatan yang
aku lakukan?
Aku benar-benar tak mengerti. Semuanya berlalu begitu cepat. Tanganku terikat,
tubuhku remuk dikeroyok masa. Bibirku bergetar, aku ingin mengucapkan sepatah
kata untuk sang datuk. Tapi aku tidak bisa, penduduk itu terus berteriak. Dalam
keadaan tertekan ini, aku terus berdoa kepada Tuhan berharap ada seorang
malaikat yang membantuku membela kebenaran.
***
Diantara
kerumunan penduduk kulihat Pak Rahmat, seseorang yang menampungku
selama aku tinggal di sini,
datang tergopoh-gopoh menghampiriku. “Alamak,
nak Yahya? Ada
apa ini?”
tanya
Pak
Rahmat dengan kebingungan.
“Sebentar, Apa
yang sedang terjadi!?”
teriak
Pak
Rahmat
diantara kerumunan
penduduk.
Seketika
penduduk hening sejenak. Lalu, salah seorang warga menyaut, “Zina pak zina, pemuda kota itu berzina.”
“Itukan nak Yahya, apakah dia benar melakukannya?” tanya Pak Rahmat lirih. Kulihat rasa kecewa terlukis di wajahnya.
Kemudian, beliau
berbalik arah berjalan menuju Datuk Ishak. “Datuk, apa yang sebenarnya terjadi,
mengapa nak Yahya
ada di sini?” suaranya menunjukkan betapa gundah hatinya.
Dengan mengumpulkan
sisa-sisa tenaga, aku mencoba membela diri. “Pak Rahmat tolong
saya, saya tidak bersalah pak, percayalah.”
“Ini ,
pemuda kota
ini melakukan zina.” Jawab Datuk
dengan amarahnya.
“Zina…? Benarkah itu nak Yahya? Benarkah nak Yahya
melakukannya?” tanya Pak Rahmat cemas.
“Tidak pak, tidak, saya tidak melakukan apa-apa, percayalah pak, saya tidak
melakukan sesuatu yang dilarang agama.” Ujarku menyelamatkan diri.
“Alah, tak usah mengelak kau,
mengaku saja lah.” Celetuk
seorang warga desa.
“Benar pak, saya yakin nak Yahya tidak akan melakukan hal
seperti ini, nak Yahya berasal dari keluarga baik-baik
dan mempunyai niat baik untuk berkunjung
kesini.” Jelas Pak Rahmat membelaku.
“Baik apanya.. , saya melihat sendiri dia sedang mengintip
perawan kembang desa kita, si Ulin dirumah pengasingan. Apa itu tindakan baik?” tanggap seorang perempuan tua.
“Masya Allah nak Yahya, apa benar nak Yahya
melakukannya?” tanya Pak Rahmat memastikan.
“B-Bukan, bukan begitu yang sebenarnya pak.” Suaraku dengan terbata bata. Aku hendak mengucapkan
sepatah kata namun
nafasku tersendat. Kerumunan warga menyorakiku.
“Tidak! Kau
sudah tidak bisa mengelak. Adat tetaplah adat. Kau harus menikahi putriku!”
tegas Datuk Ishak.
Apa?! Aku harus
menikahi putrinya. Ini tidak benar. Adat macam apa ini. Aku akui aku salah.
Sore itu, tidak seharusnya aku berjalan-jalan menyusuri desa ini tanpa meminta
ijin Pak Rahmat. Aku nekat berjalan sendirian. Aku ingin segera memotret
pemandangan untuk liputanku nanti. Agar tugas ini cepat selesai dan aku bisa
kembali ke Jakarta. Lagipula, pemandangan sore hari di desa Gari Dili lebih
jauh mempesona, pikirku. Malang nian nasibku, aku tidak sadar aku sudah
melewati perbatasan desa. Tempat itu sangat sunyi, hanya ada sebuah rumah kuno
di sana. Dalam batinku rumah ini sangat cocok untuk liputanku. Segera saja aku
memotret rumah itu dan mendekatinya hingga aku melihat seorang gadis cantik
didalamnya. Baik aku ataupun dia sama-sama terkejut. Tiba-tiba muncul dari belakangku
seorang perempuan tua. Dia berteriak “Alamak,
apa yang kau lakukan di sini anak muda? Tak seharusnya kau ada di sini. Ini tempat pengasingan
bagi gadis yang sedang dalam keadaan kotor. Kau melanggar adat kami, ini sama
dengan zina nak!”
dan saat itulah penderitaanku
dimulai.
Lamunanku
terbuyar setelah mendengar sebuah teriakan yang kukenal. Orang itu muncul dari
kerumunan. “Yahya sudah mempunyai tunangan, mana mungkin dia harus menikahi
putri Datuk?!!!” teriak Doni dengan emosi.
***
Tiga tahun silam tepatnya masa dimana aku dan sahabatku sudah bersama sejak
zaman SMA dulu. Kami selalu bersama bahkan dalam menentukan
jurusan saat kuliah. Hingga
sekarang, kami sudah lulus sebagai sarjana telekomunikasi dari salah satu
Universitas tersohor di Pulau Jawa. Mulai saat itu aku mulai bekerja disalah satu stasiun
TV nasional sebagai seorang
reporter. Awal masa bekerja memang berat bagi kami, kami harus beradaptasi dengan suasana
kantor. Pada salah satu kesempatan
kami
mendapat pekerjaan yang mengharuskan kami ditempatkan ditempat yang terpisah. Doni dengan timnya ditugaskan ke Medan untuk meliput keadaan masyarakat di sana dan aku dengan timku harus pergi ke Surabaya untuk
meliput festival kostum 2013.
Dari perjalanan kerja itu,
timbul benih – benih cinta antara
aku dan Lisa, teman setimku.
Awalnya Lisa menolakku karena dia menganggap aku hanya mempermainkannya saja. Tetapi keinginanku sudah bulat untuk memiliki Lisa. Apa pun kulakukan untuk mendapatakannya. Setelah berjuang sekian lama
akhirnya Lisa menerimaku
sebagai kekasihnya
karena Lisa menganggapku
sudah
lebih
serius dari sebelumnya. Hubunganku
dengan Lisa pun tak semulus apa yang dibayangkan orang lain banyak masalah yang
harus kami
lalui.
Tetapi hal tersebut tidak mengurangi rasa cinta diantara kami berdua. Satu dua tahun telah
terlewati banyak cerita sendu senja
kami lewati
bersama. Tepat 11 Januari
2015, aku melamar Lisa agar mau menjadi
pendampingku
kelak. Lisa pun menyetujui hal tersebut. Kemudian aku memberanikan diri untuk menemui
ayahnya
agar merestui kami. Dan
ternyata apa yang kami
impikan terwujud. Kami
mendapat restu dari kedua orang tua kami. Bagiku Lisa adalah anugerah terindah yang pernah diberikan
Tuhan kepadaku. Aku berjanji akan membahagiakan Lisa sampai ajal menjemput kami berdua. Tiga bulan kemudian aku mendapat
pekerjaan untuk meliput adat istiadat yang ada di Gayo, Desa Gari Dili, Aceh. Ternyata aku dan Doni dipertemukan kembali dalam pekerjaan ini. Itulah awal mula aku bisa berada
di desa ini.
***
“Apakah hanya dengan adat yang kalian agung-agungkan, kesetian itu
harus dipatahkan? Dapatkah
kalian bayangkan jika berada dalam keadaan nya?” jelas Doni.
“Hei anak kota apa yang kau tahu tentang adat kami?
Anak bau kencur sudah berani melawan tetua. Jika kalian telah menginjakkan kaki
di sini, kalian harus mematuhi aturan yang ada di sini.
Tidak peduli itu butuh pengorbanan atau pun mengorbankan kesetiaan!” tantang Datuk Ishak.
“Kalian
melakukannnya secara sepihak, seharusnya kalian merundingkan secara baik-baik
dengan pihak yang bersangkutan.” Lanjut Doni
“Mau tidak mau ini harus dijalani, ini sudah menjadi hukum adat bagi siapa saja yang sudah melanggarnya dia lah
yang harus membayarnya!” terang Datuk Ishak.
***
Sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab,
sudah sewajarnya aku melakukan hal ini. Ya, akhirnya aku menyetujui perkataan
Datuk untuk menikahi Ulin. Waktu itu aku sudah tidak bisa berpikir jernih.
Istri datuk menangis dengan hebatnya. Bahkan, Datuk yang tadinya marah besar
tiba-tiba memohon kepadaku untuk menikahi putrinya. Warga di sana terkejut
melihat datuk. Adat ini benar-benar tidak ada gantinya. Datuk terus memohon
kepadaku, karena jika aku tidak menikahi putrinya maka selamanya putrinya tidak
bisa dinikahi orang lain. Hatiku mulai bergejolak. Tanpa sadar aku menyetujui
pernikahan sepihak ini dengan syarat Ulin boleh kubawa ke Jakarta. Aku tidak
bisa tinggal lebih lama di sini. Aku punya keluarga dan karir di Jakarta.
Permohonanku dikabulkan. Ulin ku boyong ke Jakarta. Para penduduk melepas
kepergianku bersama Ulin dan Doni dengan sukacita.
***
Akhirnya kami bertiga sampai di Jakarta tepat pukul 9 pagi. Doni mengantarkan aku dan Ulin ke apartemenku di Menteng Atas, Jakarta Selatan.
Sesampai di apartemen kami merasa canggung untuk berbicara. Ulin adalah seorang
gadis pingitan yang pendiam. Aku bingung untuk memulai pembicaraan. Dengan
mengumpulkan keberanianku aku mencoba memulai pembicaraan dengannya.
“Di sanalah tempatmu tidur.
Jika ada sesuatu yang kau butuhkan aku selalu ada untukmu. Jangan sungkan untuk
meminta bantuanku.” Malam ini, angin malam menemani kecanggungan kami. Aku
tidak bisa tidur, selain memikirkan masa depanku dengan Ulin, aku juga
memikirkan hubunganku dengan Lisa. Aku bingung untuk berkata sejujurnya kepada
Lisa. Aku takut menyakiti hatinya.
Dua hari
berikutnya, aku mengumpulkan niatku untuk bertemu dengan Lisa. Aku mengajaknya
bertemu di Café Cassandra. Tempatku dulu melamarnya. Aku berusaha untuk siap.
Ulin juga ku ajak ke sana. Aku menyuruhnya duduk di kursi pojok ruangan.
Takutnya Lisa langsung mengamuk ketika melihatku dengan seorang gadis. Lisa pasti senang karena memang sudah cukup lama kami tidak bertemu.
Aku
menunggu di tempat yang
sudah ku pesan dan 5 menit kemudian Lisa datang. Dia tersenyum senang dan memelukku tiba-tiba. Entah
kenapa aku merasa canggung. pikiranku melayang ke Ulin.
“Bagaimana
kabarmu Lis?” tanyaku sekedar berbasa-basi.
“Aku baik.
Bagaimana denganmu? Pasti menyenangkan di Aceh.” Jawab Lisa. Aku hanya tersenyum palsu. Tidak, keadaanku
bahkan buruk Lis. Akibat perbuatanku hubungan kita hancur sudah, batinku.
“Aku baik. Di sana
banyak hal yang aku pelajari.” Bahkan adat istiadatnya aku lakukan. Dia
tersenyum senang. Dia ingin tahu pengalamanku di sana. Ku ceritakan saja
hal-hal yang menyenangkan. Pembicaraan kami berlangsung cukup lama. Sampai
akhirnya aku mengungkapkan apa yang selama ini membebaniku.
“Lisa… aku ingin
berkata jujur kepadamu,” ujarku. Dia hanya mengangguk. “Sebenarnya,.. waktu aku
di Aceh, aku melakukan suatu pelanggaran adat di sana. Dan karena pelanggaran
itu, aku harus menikahi seorang gadis.” Sedikit tidak rela aku mengatakannya.
Sedikit?
“Hahahaha,
jangan bercanda Yahya. Ini bukan April mop.” Dia tertawa. Menganggap semua ini
bohong belaka.
“Aku
bicara serius Lis,” balasku. “Mungkin ini memang tidak masuk akal
untukmu tapi inilah kenyataannya. Jujur aku juga berat untuk melepasmu. Aku tak
punya pilihan lain Lis.” Lanjutku.
Lisa hanya terpaku mendengar pernyataanku. Lalu ia mencoba menenangkan
dirinya dan berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk belaka yang akan berakhir
diesok hari. Lalu aku berdiri dari bangku caffe dan melangkah kearah gadis di
sudut meja lalu menariknya. Ku genggam tangannya menuju Lisa. Ya gadis itu
adalah Ulin. Lisa menatap kami dengan tatapan kosong seolah tak percaya akan
hal ini. Sejenak tak ada pembicaraan diantara kami.
Akhirnya, aku
memulai pembicaraan kembali. “Kenalkan Lisa, gadis ini adalah Ulin. Sekarang
dia adalah istriku. Dan Ulin, ini adalah Lisa, ia adalah.. mantan tunanganku.” Jawabku dengan canggung.
“Sudahlah
hentikan lelucon ini!” balas Lisa menahan amarah.
“Aku sedang
tidak melucu Lis. Aku berkata sebenarnya. Apakah aku tampak berbohong di matamu?” aku menatapnya dengan seksama.
Sudah tidak ada keraguan lagi di hatiku. Aku tetap menggenggam tangan Ulin.
Disisi lain Ulin hanya menatap pertengkaran ini dengan tidak enak hati.
Bagaimanapun pesoalan ini muncul karenanya.
“Jangan merasa bersalah, ini semua akibat
ulahku bukan karenamu.” Bisikku kepada Ulin.
“Inikah
balasanmu terhadap semua yang ku lakukan? K-kau bilang kau tidak akan
mencampakkanku. Tapi apa?! Bahkan kau sudah menikah dengan gadis lain?!” Lisa
marah dan menangis seketika. Aku tidak tega melihatnya. Aku ingin
menenangkannya, tapi di sampingku ada Ulin yang menunduk sambil menangis dalam
diam.
“Sebenarnya aku
juga tidak ingin mengakhiri hubungan ini. Tapi aku sudah terikat dalam
pernikahan ini. Bukan maksudku mencampakkan bahkan mengkhianatimu. Tolong
mengertilah.”
Jelasku sambil memohon kepadanya.
“Sudah
hentikan!” dia menangis tersedu-sedu. “Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu
padamu. Mulai sekarang jangan temui aku lagi. Dan biarkan,” dia menjeda
sebentar pernyataannya. Dia terlihat serius. Aku mendengarkan dengan seksama.
“–dan biarkan, anakmu ini ku asuh tanpa kehadiranmu.”
Deg.
Aku membelalak tak percaya mendengarkan
perkataan Lisa. Lisa melenggang pergi meninggalkan aku dan Ulin.
“J-jadi selama
ini Lisa..”
------Selesai------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar