Sabtu, 17 September 2016

Dua Hati Di Ujung Senja

Dua Hati Di Ujung Senja
oleh : Fitri, Mila, Alba, Evira, dan Adinda

Langit teduh kebiruan memayungi dusun terpencil di lembah sunyi itu. Sejuk angin yang berhembus dari bukit-bukit yang mengelilingi dusun membuat penduduk sering bermimpi tentang hal-hal yang indah.
Akan tetapi, tiba-tiba saat menjelang ashar, dusun mungil itu seolah-olah berubah menjadi kancah huru-hara. Dan semua itu terjadi karena aku. Ya aku. Mereka, para penduduk beramai-ramai menyeretku ke sebuah lapangan luas. Lapangan yang biasa digunakan penduduk untuk menyelenggarakan upacara adat ataupun penghukuman seseorang yang berdosa. Seperti diriku ini. Perasaanku campur aduk antara sedih, marah, kesal, kecewa, dan merasa bodoh.
Mereka menyeretku dengan kejamnya, setelah menghajarku habis-habisan. Aku bagaikan seorang pendosa berat yang tak layak untuk diampuni. Aku ingin berteriak. Setidaknya, untuk setitik kebenaran. Namun apa dayalah aku. Mereka orang-orang yang masih kolot. Adat istidat sudah mendarah daging pada dirinya. Apakah mungkin mereka mendengarkan aku? Luka-luka di tubuh dan di wajahku ini membuatku tak berdaya. Bahkan untuk membela diriku sekalipun.
“Hukum dia! Pendosa seperti dia tak pantaslah untuk hidup!”
“Dasar kau tak punya malu, wahai pemuda!”
“Datuk, hukum saja dia! Ini sudah tak bisa diampuni lagi!”
“Pancung saja dia! Inilah akibatnya jika kau berani melanggar hukum adat kami!”
Mereka terus berteriak, mencemooh, dan menghina diriku habis-habisan. Meskipun lemah, samar-samar aku melihat Datuk Ishak berada di tempatnya. Tempat seseorang yang sangat dihormati di desa ini. Mukanya merah padam. Raut muka itu menjelaskan segalanya bahwa beliau benar membenciku. Di sampingnya ada sang istri yang menatapku dengan pandangan iba.
Sebegitu dahsyatkah perbuatan yang aku lakukan? Aku benar-benar tak mengerti. Semuanya berlalu begitu cepat. Tanganku terikat, tubuhku remuk dikeroyok masa. Bibirku bergetar, aku ingin mengucapkan sepatah kata untuk sang datuk. Tapi aku tidak bisa, penduduk itu terus berteriak. Dalam keadaan tertekan ini, aku terus berdoa kepada Tuhan berharap ada seorang malaikat yang membantuku membela kebenaran.
***
Diantara kerumunan penduduk kulihat Pak Rahmat, seseorang yang menampungku selama aku tinggal di sini, datang tergopoh-gopoh menghampiriku. “Alamak, nak Yahya? Ada apa ini?tanya Pak Rahmat dengan kebingungan.
“Sebentar, Apa yang sedang terjadi!?” teriak Pak Rahmat diantara kerumunan penduduk. 
Seketika penduduk hening sejenak. Lalu, salah seorang warga menyaut, “Zina pak zina, pemuda kota itu berzina.”
“Itukan nak Yahya, apakah dia benar melakukannya?” tanya Pak Rahmat lirih. Kulihat rasa kecewa terlukis di wajahnya.
Kemudian, beliau berbalik arah berjalan menuju Datuk Ishak.Datuk, apa yang sebenarnya terjadi, mengapa nak Yahya ada di sini?” suaranya menunjukkan betapa gundah hatinya.
Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga, aku mencoba membela diri. “Pak Rahmat tolong saya, saya tidak bersalah pak, percayalah.” 
“Ini , pemuda kota ini melakukan zina.” Jawab Datuk dengan amarahnya.
“Zina…? Benarkah itu nak Yahya? Benarkah nak Yahya melakukannya?” tanya Pak Rahmat cemas.
“Tidak pak, tidak, saya tidak melakukan apa-apa, percayalah pak, saya tidak melakukan sesuatu yang dilarang agama.” Ujarku  menyelamatkan diri.
“Alah, tak usah mengelak kau, mengaku saja lah.” Celetuk seorang warga desa.
“Benar pak, saya yakin nak Yahya tidak akan melakukan hal seperti ini, nak Yahya  berasal dari keluarga baik-baik dan mempunyai niat baik untuk berkunjung kesini.” Jelas Pak Rahmat membelaku.
“Baik apanya.. , saya melihat sendiri dia sedang mengintip perawan kembang desa kita, si Ulin dirumah pengasingan. Apa itu tindakan baik? tanggap seorang perempuan tua.
“Masya Allah nak Yahya, apa benar nak Yahya melakukannya?” tanya Pak Rahmat memastikan.
“B-Bukan, bukan begitu yang sebenarnya pak.” Suaraku dengan terbata bata. Aku hendak mengucapkan sepatah kata namun nafasku tersendat. Kerumunan warga menyorakiku.
“Tidak! Kau sudah tidak bisa mengelak. Adat tetaplah adat. Kau harus menikahi putriku!” tegas Datuk Ishak.
Apa?! Aku harus menikahi putrinya. Ini tidak benar. Adat macam apa ini. Aku akui aku salah. Sore itu, tidak seharusnya aku berjalan-jalan menyusuri desa ini tanpa meminta ijin Pak Rahmat. Aku nekat berjalan sendirian. Aku ingin segera memotret pemandangan untuk liputanku nanti. Agar tugas ini cepat selesai dan aku bisa kembali ke Jakarta. Lagipula, pemandangan sore hari di desa Gari Dili lebih jauh mempesona, pikirku. Malang nian nasibku, aku tidak sadar aku sudah melewati perbatasan desa. Tempat itu sangat sunyi, hanya ada sebuah rumah kuno di sana. Dalam batinku rumah ini sangat cocok untuk liputanku. Segera saja aku memotret rumah itu dan mendekatinya hingga aku melihat seorang gadis cantik didalamnya. Baik aku ataupun dia sama-sama terkejut. Tiba-tiba muncul dari belakangku seorang perempuan tua. Dia berteriak “Alamak, apa yang kau lakukan di sini anak muda? Tak seharusnya kau ada di sini. Ini tempat pengasingan bagi gadis yang sedang dalam keadaan kotor. Kau melanggar adat kami, ini sama dengan zina nak! dan saat itulah penderitaanku dimulai.
Lamunanku terbuyar setelah mendengar sebuah teriakan yang kukenal. Orang itu muncul dari kerumunan. “Yahya sudah mempunyai tunangan, mana mungkin dia harus menikahi putri Datuk?!!!” teriak Doni dengan emosi.
***
Tiga tahun silam tepatnya masa dimana aku dan sahabatku sudah bersama sejak zaman SMA dulu. Kami selalu bersama bahkan dalam menentukan jurusan saat kuliah. Hingga sekarang, kami sudah lulus sebagai sarjana telekomunikasi dari salah satu Universitas tersohor di Pulau Jawa. Mulai saat itu aku mulai bekerja disalah satu stasiun TV nasional sebagai seorang reporter. Awal masa bekerja memang berat bagi kami, kami harus beradaptasi dengan suasana kantor. Pada salah satu kesempatan kami mendapat pekerjaan yang mengharuskan kami ditempatkan ditempat yang terpisah. Doni dengan timnya ditugaskan ke Medan untuk meliput keadaan masyarakat di sana dan aku dengan timku harus pergi ke Surabaya untuk meliput festival kostum 2013. Dari perjalanan kerja itu, timbul benih – benih cinta antara aku dan Lisa, teman setimku.
Awalnya Lisa menolakku karena dia menganggap aku hanya mempermainkannya saja. Tetapi keinginanku sudah bulat untuk memiliki Lisa. Apa pun kulakukan untuk  mendapatakannya. Setelah berjuang sekian lama akhirnya Lisa menerimaku sebagai kekasihnya karena Lisa menganggapku sudah lebih serius dari sebelumnya. Hubunganku dengan Lisa pun tak semulus apa yang dibayangkan orang lain banyak masalah yang harus kami lalui. Tetapi hal tersebut tidak mengurangi rasa cinta diantara kami berdua. Satu dua tahun telah terlewati banyak cerita sendu senja kami lewati bersama. Tepat 11 Januari 2015, aku melamar Lisa agar mau menjadi pendampingku kelak. Lisa pun menyetujui hal tersebut. Kemudian aku memberanikan diri untuk menemui ayahnya agar merestui kami. Dan ternyata apa yang kami impikan terwujud. Kami mendapat restu dari kedua orang tua kami. Bagiku Lisa adalah anugerah terindah yang pernah diberikan Tuhan kepadaku. Aku  berjanji akan membahagiakan Lisa sampai ajal menjemput kami berdua. Tiga bulan kemudian aku mendapat pekerjaan untuk meliput adat istiadat yang ada di Gayo, Desa Gari Dili, Aceh. Ternyata aku dan Doni dipertemukan kembali dalam pekerjaan ini. Itulah awal mula aku bisa berada di desa ini.
***
“Apakah hanya dengan adat yang kalian agung-agungkan, kesetian itu harus dipatahkan? Dapatkah kalian bayangkan jika berada dalam keadaan nya?” jelas Doni.
 “Hei anak kota apa yang kau tahu tentang adat kami? Anak bau kencur sudah berani melawan tetua. Jika kalian telah menginjakkan kaki di sini, kalian harus mematuhi aturan yang ada di sini. Tidak peduli itu butuh pengorbanan atau pun mengorbankan kesetiaan!” tantang Datuk Ishak.
Kalian melakukannnya secara sepihak, seharusnya kalian merundingkan secara baik-baik dengan pihak yang bersangkutan.” Lanjut Doni
“Mau tidak mau ini harus dijalani, ini sudah menjadi hukum adat bagi siapa saja yang sudah melanggarnya dia lah yang harus membayarnya!” terang Datuk Ishak.
***
Sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, sudah sewajarnya aku melakukan hal ini. Ya, akhirnya aku menyetujui perkataan Datuk untuk menikahi Ulin. Waktu itu aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Istri datuk menangis dengan hebatnya. Bahkan, Datuk yang tadinya marah besar tiba-tiba memohon kepadaku untuk menikahi putrinya. Warga di sana terkejut melihat datuk. Adat ini benar-benar tidak ada gantinya. Datuk terus memohon kepadaku, karena jika aku tidak menikahi putrinya maka selamanya putrinya tidak bisa dinikahi orang lain. Hatiku mulai bergejolak. Tanpa sadar aku menyetujui pernikahan sepihak ini dengan syarat Ulin boleh kubawa ke Jakarta. Aku tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Aku punya keluarga dan karir di Jakarta. Permohonanku dikabulkan. Ulin ku boyong ke Jakarta. Para penduduk melepas kepergianku bersama Ulin dan Doni dengan sukacita.
***
Akhirnya kami bertiga sampai di Jakarta tepat pukul 9 pagi. Doni mengantarkan aku dan Ulin ke apartemenku di Menteng Atas, Jakarta Selatan. Sesampai di apartemen kami merasa canggung untuk berbicara. Ulin adalah seorang gadis pingitan yang pendiam. Aku bingung untuk memulai pembicaraan. Dengan mengumpulkan keberanianku aku mencoba memulai pembicaraan dengannya.Di sanalah tempatmu tidur. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan aku selalu ada untukmu. Jangan sungkan untuk meminta bantuanku.” Malam ini, angin malam menemani kecanggungan kami. Aku tidak bisa tidur, selain memikirkan masa depanku dengan Ulin, aku juga memikirkan hubunganku dengan Lisa. Aku bingung untuk berkata sejujurnya kepada Lisa. Aku takut menyakiti hatinya.
Dua hari berikutnya, aku mengumpulkan niatku untuk bertemu dengan Lisa. Aku mengajaknya bertemu di Café Cassandra. Tempatku dulu melamarnya. Aku berusaha untuk siap. Ulin juga ku ajak ke sana. Aku menyuruhnya duduk di kursi pojok ruangan. Takutnya Lisa langsung mengamuk ketika melihatku dengan seorang gadis. Lisa pasti senang karena memang sudah cukup lama kami tidak bertemu.
Aku menunggu di tempat yang sudah ku pesan dan 5 menit kemudian Lisa datang. Dia tersenyum senang dan memelukku tiba-tiba. Entah kenapa aku merasa canggung. pikiranku melayang ke Ulin.
“Bagaimana kabarmu Lis?” tanyaku sekedar berbasa-basi.
“Aku baik. Bagaimana denganmu? Pasti menyenangkan di Aceh.Jawab Lisa. Aku hanya tersenyum palsu. Tidak, keadaanku bahkan buruk Lis. Akibat perbuatanku hubungan kita hancur sudah, batinku.
“Aku baik. Di sana banyak hal yang aku pelajari.” Bahkan adat istiadatnya aku lakukan. Dia tersenyum senang. Dia ingin tahu pengalamanku di sana. Ku ceritakan saja hal-hal yang menyenangkan. Pembicaraan kami berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya aku mengungkapkan apa yang selama ini membebaniku.
“Lisa… aku ingin berkata jujur kepadamu,ujarku. Dia hanya mengangguk. “Sebenarnya,.. waktu aku di Aceh, aku melakukan suatu pelanggaran adat di sana. Dan karena pelanggaran itu, aku harus menikahi seorang gadis.” Sedikit tidak rela aku mengatakannya. Sedikit?
“Hahahaha, jangan bercanda Yahya. Ini bukan April mop.” Dia tertawa. Menganggap semua ini bohong belaka.  
“Aku bicara serius Lis,” balasku. “Mungkin ini memang tidak masuk akal untukmu tapi inilah kenyataannya. Jujur aku juga berat untuk melepasmu. Aku tak punya pilihan lain Lis.” Lanjutku.
 Lisa hanya terpaku mendengar  pernyataanku. Lalu ia mencoba menenangkan dirinya dan berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk belaka yang akan berakhir diesok hari. Lalu aku berdiri dari bangku caffe dan melangkah kearah gadis di sudut meja lalu menariknya. Ku genggam tangannya menuju Lisa. Ya gadis itu adalah Ulin. Lisa menatap kami dengan tatapan kosong seolah tak percaya akan hal ini. Sejenak tak ada pembicaraan diantara kami.
Akhirnya, aku memulai pembicaraan kembali. “Kenalkan Lisa, gadis ini adalah Ulin. Sekarang dia adalah istriku. Dan Ulin, ini adalah Lisa, ia adalah..  mantan tunanganku.” Jawabku dengan canggung.
“Sudahlah hentikan lelucon ini!” balas Lisa menahan amarah.
“Aku sedang tidak melucu Lis. Aku berkata sebenarnya. Apakah aku tampak berbohong di matamu?” aku menatapnya dengan seksama. Sudah tidak ada keraguan lagi di hatiku. Aku tetap menggenggam tangan Ulin. Disisi lain Ulin hanya menatap pertengkaran ini dengan tidak enak hati. Bagaimanapun pesoalan ini muncul karenanya.
 “Jangan merasa bersalah, ini semua akibat ulahku bukan karenamu.” Bisikku kepada Ulin.
“Inikah balasanmu terhadap semua yang ku lakukan? K-kau bilang kau tidak akan mencampakkanku. Tapi apa?! Bahkan kau sudah menikah dengan gadis lain?!” Lisa marah dan menangis seketika. Aku tidak tega melihatnya. Aku ingin menenangkannya, tapi di sampingku ada Ulin yang menunduk sambil menangis dalam diam.
“Sebenarnya aku juga tidak ingin mengakhiri hubungan ini. Tapi aku sudah terikat dalam pernikahan ini. Bukan maksudku mencampakkan bahkan mengkhianatimu. Tolong mengertilah.Jelasku sambil memohon kepadanya.
“Sudah hentikan!” dia menangis tersedu-sedu. “Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Mulai sekarang jangan temui aku lagi. Dan biarkan,” dia menjeda sebentar pernyataannya. Dia terlihat serius. Aku mendengarkan dengan seksama. “–dan biarkan, anakmu ini ku asuh tanpa kehadiranmu.”
Deg.
 Aku membelalak tak percaya mendengarkan perkataan Lisa. Lisa melenggang pergi meninggalkan aku dan Ulin.
“J-jadi selama ini Lisa..”

------Selesai------

Ringkasan Materi Pelaksanaan HAM Tiap Periode di Indonesia

Periode 1945 s.d 1950
·         Pemikiran tentang hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
·     Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45.
·     Namun, UUD 1945 sebelum Perubahan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia

Periode 1950 s.d 1959
·         Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
·   UUDS 1950 dianggap oleh sebagian orang sebagai salah satu konstitusi terbaik yang mengatur perlindungan hak asasi manusia secara lebih lengkap dan maju pada jaman tersebut.

Periode 1959 s.d 1966
·         Terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sehingga ham pada periode ini dikatakan mati

Periode 1966 s.s 1998
Di awal Periode ini, ada semangat pemerintah dalam menegakan HAM sehingga penegakan HAM berjalan dengan lancar. Namun di awal tahun 1970 mengalami kemandegan bahkan kemunduran. Namun berkat semangat masyarakat khususnya LSM, HAM kembali  ditegakkan.  Sehingga memunculkan KOMNAS HAM sebagai tuntutan penegakan HAM.
Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita mengenai penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara —-termasuk  teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat.

Periode 1998 s.d sekarang
·         Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.
·         dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM.
·         dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia.
          Orde reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa perubahan positif yang dibawa oleh reformasi pada periode jabatan presiden B.J. Habibie adalah dalam bidang Kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers, serta dalam Pelaksanaan Pemilu